Senin, 10 Agustus 2009

Hak Atas Kekayaan Intelektual

DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Jl. Daan Mogot Km. 24, TANGERANG 15119
Telp. (021) 5524992, 55796586 Fax (021) 5525366 e-mail : dirgen@dgip.go.id
Makassar, 20 November 2001




PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HUKUM HaKI¯*

Oleh
A. Zen Umar Purba



Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Departemen Kehakiman dan HAM RI
1. Sebelum masuk ke masalah inti dari acara pelatihan pada hari ini, ada baiknya
kalau kita mengkaji korelasi antara hak kekayaan intelektual dan pembangunan
nasional. Untuk itu saya ingin mengutip editorial The Washington Post edisi 28
April 2001 yang berbunyi : “. . . . if there is one lesson in the past half century of
economic development, it is that natural resources do not power economies, human
resources do” (jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu mengenai
perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan
ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu). Setuju atau tid ak, yang jelas
tajuk rencana tersebut sangat tepat untuk dijadikan cermin bagi Indonesia. Di
antara puluhan ribu pulau dan perairan ditambah zona ekonomi eksklusif 200 mil,
serta sumber daya alam (“SDA”) yang terkandung di atas, di dasar, di kolom, serta
di bawah permukaan tanah/air, kita bagaikan tikus kelaparan di lumbung padi.
Sementara kita ketahui beberapa negara yang tanpa SDA melesat maju alang
kepalang. Tentu berkat kemampuan sumber daya manusia (“SDM”) mereka.
2. Pengembangan SDM mutlak perlu. Sebab tanpa SDM yang berkualitas kita hanya
menjadi pengekor. Lihat saja bagaimana pemanfaatan SDA yang ada di tanah air
kita yang kaya itu (sebenarnya “kaya” dari sudut potensi, bukan riil), hanya
tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing. Untuk jangka panjang,
posisi berunding kita di forum-forum internasional dalam kaitan dengan
komoditas tertentu akan berada pada posisi di bawah. Ada program alih
teknologi, tapi dikaitkan dengan kenyataan di atas, program ini hanya bersifat
rutin saja, tidak ada dampak strategis yang bisa diharapkan.
3. Lalu apa yang harus dilakukan ? Pertama, segera mengubah orientasi atau
persepsi masyarakat terhadap SDA kita. Kedua, menggalakkan program
pengembangan SDM. Akan tetapi sementara yang ideal ini masih di awangawang,
yang dapat dilakukan secara konkret sekarang adalah me-likuid-kan SDA
tersebut. Untuk itu diperlukan investor asing. Di sini kita harus berupaya keras
agar mereka benar-benar tertarik dan merasa terjamin bahwa iklim usaha di tanah
air benar-benar OK bagi mereka. Mulai titik ini sistem hak kekayaan intelektual
¯* Disampaikan pada acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme, diselenggarakan oleh
Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Makassar, 20 November 2001.
Makalah Dirjen HaKI – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.
Makassar, 20 November 2001
2
memegang peran. Pertama, sistem hak kekayaan intelektual diperlukan untuk
melindungi kepentingan para investor tersebut. [Tentu saja secara strategis harus
diperhitungkan agar terjadi alih teknologi dan alih keterampilan bagi SDM kita
sendiri]. Kedua, sistem hak kekayaan intelektual tidak lain merupakan upaya
untuk mengembangkan SDM itu sendiri. Dengan sistem hak kekayaan intelektual
diharapkan terlatihnya para SDM kita, sebab hak kekayaan intelektual berurusan
dengan produk sebagai hasil olah fikir manusia. Lebih penting adalah terciptanya
budaya inovatif dan berkembangnya apresiasi bagi karya intelektual. Di bawah ini
akan ditunjukkan pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual nasional, baik
dalam kaitan kebutuhan nasional maupun dalam kaitan dengan pemenuhan
kewajiban internasional.
4. Untuk paten dari tahun 1991 hingga 2000 tercatat 25.134 permohonan paten dan
dari jumlah tersebut diberikan 6.286 paten. Catatan perlu diberikan tentang masih
rendahnya permohonan paten yang diajukan oleh para inventor nasional. Sampai
dengan tahun 2000 permohonan paten oleh inventor nasional adalah sebesar +
5% dari total permohonan. Ini sebenarnya tidak perlu dimasukkan ke hati, sebab
situasi demikian, perbandingan antara jumlah permohonan paten oleh pihak lokal
dibanding jumlah keseluruhan permohonan juga terjadi pada negara -negara lain.1
Namun dalam suasana negara kita terus membangun dewasa ini, peningkatan
permohonan paten tidak lain merupakan refleksi peningkatan pengembangan
teknologi, yang pada gilirannya akan mengurangi ketergantungan kita pada
teknologi asing.
5. Tentang paten sederhana (“PS”), permohonan terus meningkat selama jangka
jaktu tersebut. Jika pada tahun 1993 baru terdapat 28 permohonan pada tahun 2000
sudah mencapai 213. Pada permulaan krisis ekonomi (1997) terdapat 80 dibanding
dengan 59 permohonan pada tahun sebelumnya. Tahun 1998 naik lagi menjadi 109
permohonan PS. Tentang pendaftaran, termasuk paten yang sudah diberikan lihat
tabel pada Lampiran I.
6. Mengenai merek, tidak diragukan terus meningkatnya pendaftaran. Bahkan
selama krisis 1997 pun terjadi peningkatan permohonan pendaftaran merek yaitu
28.339 aplikasi dibanding dengan 28.189 tahun 1996. Baru pada tahun 1998
menurun sedikit yakni 23.160 aplikasi. Secara keseluruhan dalam tenggang antara
tahun 1993 hingga 2000 tercatat 225.190 permohonan pendaftaran merek, dan yang
terdaftar 151.039. Tabel permohonan pendaftaran merek, Lampiran II.
7. Saat ini, hak kekayaan intelektual bukan hanya terdiri dari hak cipta, paten dan
merek. Per 20 Desember 2000, hak kekayaan intelektual Indonesia telah pula
diperkaya dengan rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit
terpadu, sejalan dengan telah diundangkannya ketiga undang-undang bidang
tersebut, masing-masing UU No. 30/2000, UU No. 31/2000 dan UU No. 32/2000.
Khusus tentang desain industri saja, sampai tahun 1997, sebelum legislasinya lahir,
1. Antara lain : Belanda 5,76%, Kanada 7,69%; sumber : WIPO.
Makalah Dirjen HaKI – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.
Makassar, 20 November 2001
3
telah masuk lebih dari 2000 pendaftaran desain industri. Setelah pendaftaran
desain industri dibuka sejak Juni tahun ini sampai 19 Oktober yang lalu, tercatat
947 dengan rincian sebagai berikut : 713 permohanan dari dalam negeri dan 234
permohonan dari luar negeri (lihat Lampiran III).2
8. Keputusan Presiden No. 189 tahun 1998, menetapkan Departemen Kehakiman
sebagai pelaksana sistem hak kekayaan intelektual nasional, yang dilakukan
dengan berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.3 Pelaksanaan ini meliputi
berbagai bidang termasuk perancangan, pelaksanaan dan pengawasan programprogram
di bidang hak kekayaan intelektual. Ini melahirkan visi yaitu memajukan
sistem hak kekayaan intelektual yang efektif dan kompetitif secara internasional
guna mendukung pembangunan nasional dan menyumbang pada kemakmuran
bangsa. Visi ini dilaksanakan dalam beberapa misi antara lain :
· mengadministrasikan sistem hak kekayaan intelektual dengan pemberian
perlindungan penghargaan serta pengakuan pada kreativitas;
· memajukan teknologi serta investasi dan pertumbuhan ekonomi yang
berbasiskan pengetahuan; dan
· menggalakkan budaya inovatif dan inventif.
9. Dengan visi dan misi demikian dikaitkan dengan data mengenai angka
pendaftaran di atas, sistem hak kekayaan intelektual telah berjalan dalam keadaan
relatif baik. Makna dari ini adalah telah dilaksanakannya sistem perlindungan bagi
kepentingan para invento r, pencipta, pendesain dan pemegang karya intelektual
lain. Namun perlindungan ini tidak ada artinya tanpa adanya penegakan hukum.
Itulah sebabnya saya menilai bahwa lokakarya tentang perlindungan dan
penegakan hukum ini sangat bermanfaat bagi kita semua. Saya akan
memfokuskan pada upaya yang disediakan legislasi bagi penegakan hukum
seperti yang terkandung dalam berbagai undang-undang baru di bidang hak
kekayaan intelektual yakni Undang-Undang No. 31/2000 tentang Desain Industri,
Undang-Undang No. 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-
Undang No. 14/2001 tentang Paten dan Undang-Undang No. 15/2001 tentang
Merek (“ UU Baru”).
10. Dalam UU Baru dimasukkan ketetapan tentang penetapan sementara oleh
pengadilan, yang sebenarnya sudah ada dalam TRIPs. Selain itu tindak pidana
diklasifikasikan sebagai delik aduan, bukan delik biasa, sementara fokus
pemidanaan lebih ditekankan pada pidana denda. Ditetapkan pula penggunaan
badan peradilan khusus untuk penyelesaian sengketa perdata serta kemungkinan
2 Namun, dari sejumlah permohonan dalam negeri tersebut, hanya dua yang berasal dari kelompok UKM; satu
hal yang sangat disayangkan. Sebab salah satu alasan dikeluarkannya UU tentang Desain Industri justru untuk
menampung karya intelektual yang datang dari lapisan masyarakat yang luas, termasuk dalam hal ini kelompok
UKM. Hal ini diejawantahkan dalam penetapan biaya pendaftaran yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
pendaftaran oleh pihak non-UKM.
3 Tugas melaksanakan sistem hak kekayaan intelektual sangat terbantu dengan rintisan yang telah dilakukan oleh
“Tim Keppres 34”, termasuk untuk pada tahap pertama menyesuaikan perundang-undangan nasional dengan
Persetujuan TRIPs.
Makalah Dirjen HaKI – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.
Makassar, 20 November 2001
4
besar pihak untuk dapat menggunakan lembaga penyelesaian di luar pengadilan
formal.
11. Mengenai yang pertama, dalam UU Baru setiap pihak yang menduga adanya
pelanggaran terhadap HaKI, dapat meminta kepada hakim untuk melarang
peredaran dan penjualan produk termaksud. Tentu saja si pelapor harus
mempunyai alasan yang cukup kuat mengenai dugaan pelanggaran tersebut,
sebab kalau tidak dia akan dapat digugat balik. Yang penting adalah bahwa
ketentuan ini merupakan tambahan bagi perlindungan hak bagi pemegang HaKI.
Bahkan dari sudut hukum Indonesia ketentuan ini merupakan terobosan karena
hal semacam ini sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum kita.
12. Berkenaan dengan masalah kedua, yakni status delik, yang diubah menjadi delik
aduan ada lah dengan alasan sebagai berikut :
· Delik aduan sesuai dengan sifat HaKI adalah hak privat (walaupun kita
maklum hak privat itu pada gilirannya memegang peranan penting dalam
dunia usaha).
· Hanya pemegang hak-lah yang tahu ada tidaknya pelanggaran atau tindak
pidana terhadap karya intelektualnya sendiri (yang notabene telah
mendapatkan perlindungan); dalam beberapa kasus para pihak yang
bersengketa dalam kaitan dengan HaKI, kemudian berdamai;
namun sementara itu kasusnya telah dilapork an ke polisi atas dugaan tindak
pidana oleh satu pihak; pelaporan tersebut tidak dapat dicabut kembali.
· Delik biasa dapat menjadi bumerang karena setiap pihak termasuk pihak
luar sangat mengharapkan dilakukannya tindakan “pembersihan” terus
menerus terhadap tindak pidana termaksud tanpa perlunya diadukan; ini
merupakan bumerang bagi kita sendiri.
Namun demikian pemerintah berpendapat akan tetap dipertahankannya status
kejahatan biasa di bidang Hak Cipta.
13. Sebelum adanya UU Baru, semua pelanggaran tindak pidana HaKI, untuk yang
paling berat, diancam maksimal 7 tahun pidana badan dan/atau denda Rp.
100.000.000,-. Ancaman pidana badan tersebut dinilai terlalu tinggi, dan dalam
praktik hakim paling sering menjatuhkan hukuman percobaan, kecuali satu
keputusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum 4 tahun penjara.
Ditambah dengan kajian pada Undang-undang yang berlaku di negara lain
(bahkan ada yang tanpa pidana badan), Pemerintah berpendapat bahwa ancaman
pidana badan yang terlalu lama tidak punya dampak apa-apa bagi rehabilitasi
kerugian korban. Malah, mengingat HaKI menopang dunia usaha, ancaman
hukuman yang terlalu lama bagi pihak yang bersangkutan menjadi alasan untuk
tidak dapat melakukan kegiatan usahanya sehingga terhadang pula kewajiban
membayar denda. Sebagai gantinya menurut Pemerintah akan lebih baik jika
pelaku delik tersebut dikenakan pidana denda yang jauh lebih berat.
Makalah Dirjen HaKI – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.
Makassar, 20 November 2001
5
Itulah sebabnya pidana denda (dan pidana badan) untuk masing-masing bidang
maksimal sebagai berikut :
· Paten : Rp. 500 juta (dan/atau 4 tahun)
· Merek : Rp. 1 milyar (dan/atau 5 tahun)
· Desain Industri : Rp. 300 juta (dan/atau 4 tahun)
14. HaKI adalah hak dengan waktu sangat terbatas. Dengan demikian diperlukan
mekanisme penyelesaian perkara perdata yang dapat bergerak cepat. Dengan UU
Baru, kecuali bidang rahasia dagang, penyelesaian sengketa perdata dilakukan di
Pengadilan Niaga. Untuk menopang hal ini dalam UU Baru juga diatur tentang
hukum acara tersendiri seperti yang berlaku dalam kaitan dengan masalah
kapailitan.
15. Selama ini praktis tidak ada gugatan perdata menyusul perkara pidana berkenaan
dengan masalah HaKI. Ini sangat disayangkan karena untuk kepentingan korban
upaya hukum ini seyogianya ditempuh. Selain itu kasus-kasus semacam ini akan
bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri. Dalam UU Baru diatur
pula ketentuan untuk menggunakan sarana lain di luar pengadilan, misalnya
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
16. Mengenai aparat penyidik UU Baru tetap memberikan kewenangan bagi pejabat
tertentu di Ditjen HaKI untuk bertindak selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS). Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengefektifkan PPNS untuk
melakukan penyidikan dalam rangka pelanggaran di bidang HaKI. Pernah ada
pertanyaan investor asing : kenapa PPNS tidak dapat langsung menyerahkan
perkara ke pengadilan. Secara normatif pertanyaan itu dapat dijawab dengan
singkat : hal itu tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan Undangundang
tentang KUHAP.
17. Pada hemat saya kalau kita ingin maju, pertanyaan itu (bukan karena ditanyakan
pihak asing) patut direnungkan, pertama, sebagai wacana peningkatan upaya
penegakan hukum. Pendapat ini sepenuhnya didasarkan perhitungan bahwa
dalam era reformasi sekarang in i pihak kepolisian amat sangat dibutuhkan oleh
seluruh rakyat untuk masalah-masalah yang lebih langsung menyentuh
kehidupan masyarakat banyak dan umumnya berskala sangat besar, misalnya
masalah perbankan, korupsi, dan lain -lain. Kedua, hal ini sejalan pula dengan
pelaksanaan konsep kenegaraan yang benar, dimana polisi lah yang
mengendalikan urusan keamanan negara, tidak lagi seperti pada masa lalu
dimana polisi hanya merupakan pelengkap. Tentu tidak mesti persis seperti yang
ditanyakan investor asing tadi, misalnya cukup dengan memberikan
kemungkinan bagi PPNS untuk menyerahkan penyidikannya kepada penuntut
umum, disamping yang dilakukan oleh polisi sendiri.
Makalah Dirjen HaKI – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I.
Makassar, 20 November 2001
6
18. Pada akhirnya langkah penegakan hukum sangat tergantung pada kerjasama
positif antara segenap aparat yang tertata baik dari tingkat penyidikan,
penuntutan sampai pemutusan perkara. Hukum tidak ada artinya kalau tidak
ditegakkan hal ini pun menjadi pegangan pihak luar negeri untuk mengukur
keberhasilan pelaksanaan sistem HaKI nasional, disamping upaya yang telah
banyak dilakukan di bidang perbaikan legislasi. Dengan pertemuan ini
diharapkan aparat hukum akan lebih meningkatkan kinerja bagi kepentingan kita
bersama. Sebab seperti telah disinggung pada permulaan makalah ini, kita sangat
tergantung pada investasi asing; kalau mereka tidak puas pada aspek penegakan
hukum, walaupun puas pada aspek-aspek lain, kita khawatir masuknya mereka
akan menjadi tersendat. Tentu saja penegakan hukum di bidang HaKI tidak dapat
dilepaskan dari penegakan hukum secara keseluruhan. Dengan ungkapan lain,
pada hemat saya, tidak ada penegakan hukum HaKI yang lemah, yang ada ialah
lemahnya penegakan hukum nasional secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar